Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama dokter muda Priguna Anugerah Pratama PAP) memasuki babak krusial
Kasus kekerasan seksual yang menyeret nama dokter muda, Priguna Anugerah Pratama (PAP), memasuki babak krusial. Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Senin (27/10/2025), Jaksa Penuntut Umum (JPU) akhirnya menjatuhkan tuntutan pidana berat: 11 tahun penjara, denda Rp100 juta, dan restitusi Rp137 juta kepada tiga korban.
Kasus ini bukan sekadar perkara hukum biasa. Ia menjadi ujian moral bagi dunia medis dan lembaga peradilan, menyingkap luka panjang korban serta pentingnya penerapan tegas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Pasal yang Terbukti
Dalam surat tuntutan, jaksa menyatakan bahwa perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar:
Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 ayat (1) huruf b, huruf e, dan huruf j Jo. Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Pasal tersebut mengatur perbuatan yang menyalahgunakan kekuasaan atau kepercayaan korban untuk melakukan kekerasan seksual, dengan ancaman pidana maksimal 12 tahun penjara.
Tuntutan Jaksa: 11 Tahun Penjara dan Restitusi untuk Korban
Dalam sidang yang berlangsung tertutup, JPU membacakan tuntutan pidana pokok dan tambahan sebagai berikut:
Pidana Pokok:
Menuntut terdakwa pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun, dikurangi masa tahanan.
Menjatuhkan denda Rp100.000.000 dengan ketentuan apabila tidak dibayar, diganti pidana penjara selama 6 bulan.
Pidana Tambahan:
Membebankan terdakwa untuk membayar restitusi kepada korban berdasarkan perhitungan LPSK Nomor R-3632/4.1.IP/LPSK/06/2025 tertanggal 18 Juni 2025, dengan total Rp137.879.000, yang dirinci:
Korban FH: Rp79.429.000
Korban NK: Rp49.810.000
Korban FPA: Rp8.640.000
Apabila restitusi tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan.
Barang Bukti: Dinyatakan tetap terlampir dalam berkas perkara.
Biaya Perkara: Dibebankan kepada terdakwa sebesar Rp5.000.
Pertimbangan Hukum: Antara Rasa Keadilan dan Penyesalan
Jaksa menyusun tuntutan berdasarkan keseimbangan antara fakta hukum dan kondisi psikologis korban. Dalam tuntutannya, jaksa menilai perbuatan terdakwa sangat berat dan meninggalkan luka sosial mendalam.
Hal-hal yang Memberatkan:
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat.
Merusak masa depan dan kehormatan korban.
Mengganggu kondisi psikologis korban yang hingga kini masih trauma.
Terdakwa merupakan seorang dokter yang seharusnya melindungi pasien, bukan mencederai kepercayaan mereka.
Hal-hal yang Meringankan:
Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.
Terdakwa telah melakukan perdamaian dengan salah satu korban, FH, dengan memberikan santunan Rp200 juta.
Terdakwa belum pernah dihukum.
Kejati Jabar: “Tuntutan Ini Bentuk Keberpihakan pada Korban”
Kasipenkum Kejati Jawa Barat, Nur Sricahyawijaya, menegaskan bahwa tuntutan ini merupakan bentuk komitmen Kejaksaan dalam menegakkan UU TPKS secara tegas.
“Kami menilai perbuatan terdakwa sangat serius dan berdampak luas. Tuntutan 11 tahun penjara dan restitusi kepada korban adalah bentuk keberpihakan kepada korban serta upaya menciptakan efek jera,” tegas Cahya.
Nur Sricahyawijaya, S.H., M.H. juga memastikan seluruh bukti, saksi, dan keterangan ahli telah dianalisis secara komprehensif sebelum penyusunan surat tuntutan.
Harapan Publik: Vonis Setimpal, Keadilan untuk Korban
Kasus Priguna kini menunggu putusan majelis hakim. Masyarakat berharap vonis akhir tidak lebih ringan dari tuntutan, mengingat dampak sosial dan psikologis yang ditimbulkan.
Bagi publik, sidang ini bukan hanya tentang satu orang dokter, melainkan tentang kepercayaan terhadap sistem hukum dan dunia kesehatan.*