JAM-Pidum Menyetujui 4 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Pencurian di Bali

JAM-Pidum Menyetujui 4 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Pencurian di Bali

Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 4 (empat) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin 3 Maret 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Mohammad Azka Murtadho alias Aka dari Kejaksaan Negeri Karangasem, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian

Kronologi bermula pada hari Sabtu tanggal 1 Februari 2025, sekira pukul 08.00 WITA, Tersangka Mohammad Azka Murtadho alias Aka berolahraga pagi dengan berlari dan berjalan sejauh 10 kilometer dari Masjid Al Hidayah, Desa Bukit Tabuan, menuju Desa Seraya. Sekitar pukul 11.00 WITA, Tersangka berteduh di sebuah warung karena hujan dan membeli makanan ringan. Setelah hujan reda, Tersangka melanjutkan perjalanan kembali ke Masjid Al Hidayah dengan berjalan kaki.

Sekitar pukul 14.00 WITA, Tersangka merasa lelah dan melihat sepeda motor Yamaha Mio Soul warna hitam dengan nomor polisi DK 5514 TJ yang terparkir di garasi rumah milik Saksi I Wayan Nova Kirana dalam kondisi kunci masih terpasang pada sepeda motor tersebut. Melihat hal itu, timbul niat Tersangka untuk mengambil sepeda motor tersebut.

Tersangka lalu memasuki garasi rumah, menyapa salam sebanyak tiga kali, namun tidak ada jawaban. Tanpa rasa curiga, tersangka langsung menuju sepeda motor, menyalakan mesin, dan mengendarainya menuju Masjid Al Hidayah. Setelah tiba di Masjid Al Hidayah, Tersangka mematikan mesin dan memarkir sepeda motor tersebut di parkiran masjid, serta menyimpan kunci sepeda motor tersebut di saku kanan celana.

Karena kelelahan, Tersangka kemudian masuk ke ruang tamu masjid dan menyimpan kunci motor di dalam tas gendongnya. Setelah tertidur dan bangun sekitar pukul 16.00 WITA untuk melaksanakan sholat, Tersangka dihampiri oleh Saksi I Wayan Nova Kirana yang menanyakan perihal motor yang telah diambil. Tersangka jujur dan mengakui perbuatannya. Ketika ditanya mengenai kunci motor, Tersangka menunjukkan kunci yang tersimpan di dalam tas gendong dan menyerahkannya kepada saksi. Tersangka sebelumnya berniat mengembalikan sepeda motor tersebut setelah selesai sholat.

Akibat perbuatan Tersangka, Saksi I Wayan Nova Kirana hampir mengalami kerugian materiil sebesar Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah) karena kehilangan sepeda motor miliknya.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Karangasem, Suwirjo, S.H., M.H., Kasi Pidum Ariz Rizky Ramadhon S.H. serta Jaksa Fasilitator Angie Fitri Chayrani Siagian, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.

Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Karangasem mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Dr. Ketut Sumedana, S.H., M.H.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Bali sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin 3 Maret 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 3 (tiga) perkara lain yaitu:

  1. Tersangka Tara Lorenda binti Doni Irawan dari Kejaksaan Negeri Musi Rawas, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  2. Tersangka Kiyu Rapena SM binti Saipul Syah dari Kejaksaan Negeri Musi Rawas, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
  3. Tersangka Regi Saputra nin Hermansyah dari Kejaksaan Negeri Lahat, yang disangka melanggar Pasal 368 Ayat (1) KUHP tentang Pemerasan dengan Kekerasan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

  • Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
  • Tersangka belum pernah dihukum;
  • Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
  • Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
  • Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
  • Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
  • Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
  • Pertimbangan sosiologis;
  • Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.  (K.3.3.1)

Bagikan tautan ini

Mendengarkan

Hubungi Kami